ilustrasi (ist.)
Jakarta - Entah kebetulan atau tidak, beberapa hari terakhir ini, saya menemui hal-hal kurang menyenangkan di Twitter. Secara berturut-turut, dengan rentang waktu tidak terlalu lama antara kejadian satu dan lainnya, saya –dan barangkali banyak rekan saya juga—menerima mention dari orang-orang tidak dikenal.
Tidak dikenal.
Karena ini adalah sebuah kanal jejaring sosial yang, layaknya area publik, merupakan tempat berkumpul dan ngocehnya begitu banyak orang, kata kenal tidak selalu berarti benar-benar kenal di dunia nyata.
Biasanya, saya akan menjawab ‘iya, kenal’, jika ada yang bertanya tentang teman-teman virtual saya. Jika pun selama ini kami hanya saling berinteraksi, berdiskusi, atau sekadar ngobrol santai via Twitter, saya akan tetap bilang ‘kenal’. Atau setidaknya ‘belum pernah ketemu sih, tapi iya, saya tau dan kenal’.
Karenanya, ketika ada akun-akun yang sama sekali asing –bahkan kami tidak/belum saling follow—tiba- tiba muncul dan menyuruh (harap dicatat: menyuruh, bukan meminta dengan cara baik-baik) untuk melakukan sesuatu buat mereka, tentu saya merasa terganggu.
@bcde: kami akan mengadakan seminar tentang XYZ tanggal sekian di alamat blablabla. Gratis. Please RT.
@fghi: pecinta coklat?? Harii Ginii belum follow @***coklat?? Ayo buruan, sypa tau km yg dapat paket spesialnya! =)
Lho, lho. Sebentar. Maaf ya, tapi situ siapa? Kita pernah kenal sebelumnya?
Yang tadinya mengernyit heran karena tidak merasa kenal dengan si pengirim pesan, lama-lama saya sebal. Bukan berarti sombong, atau tidak bersedia menyebarluaskan pesan titipan tersebut. Terlepas dari soal apakah kegiatan atau campaign ini sesuatu yang positif, bermuatan sosial, atau sekadar mencoba berdagang dan mencari peruntungan, terus terang saja cara yang mereka pakai lumayan kasar dan mengganggu.
Ada kalanya saya iseng mengintip timeline mereka. Dan jika hampir semua tweet mereka isinya seragam, mention sembarang orang dan menyuruh melakukan sesuatu untuk mereka (sekali lagi, buat saya, ini artinya mereka menyuruh, bukan meminta tolong), tanpa banyak berpikir, saya akan block dan report as spam para pengganggu ini.
Harap dicatat, jejaring sosial semacam twitter memang bukan melulu berisi pertemanan murni. Siapa pun mengerti, bahwa Twitter sudah mirip pasar bebas. Bukan salah siapa-siapa kalau hampir semua brand –kecil, menengah, mau pun besar—memiliki akun twitter, dan berjualan di sana. Trendnya memang begitu.
Dulu, kita biasa melihat-lihat, cuci mata, menaksir, kemudian membeli barang tertentu di toko-toko, pasar, atau di pedagang kakilima. Saat ini, tinggal sebut saja anda lagi pengen beli produk apa. Sepatu, baju, buku baru, buku bekas, tiket pesawat. Oh, jangan sedih. Di Twitter, semua ada.
Sebagai pelaku social media marketing, saya cukup paham, bahwa memang dibutuhkan upaya dan budget tertentu agar pesan –dan pada akhirnya: brand—kita dikenal dan diterima oleh pasar. Perlu waktu dan kerja keras banyak pihak supaya brand yang kita wakili laku terjual.
Dan harus diakui, bahwa Twitter memang super seksi. Dengan populasi pengguna yang semakin meraksasa, membuat kanal yang satu ini menjadi ajang mengikat konsumen yang cukup menjanjikan. Jadi menurut hemat saya, sah-sah saja jika kita tak mau ketinggalan dan mengais rejeki di sana.
Yang membuat orang keberatan, sebal, dan lama-lama saking kesalnya melakukan apa yang saya lakukan di paragraf awal tadi, adalah cara melakukannya. Jualan sih jualan, tapi apa susahnya sih tetap menjaga sopan santun dan tata krama? Minta tolong kek, ajakin kenalan dan basa basi dulu kek. Jangan main hajar dan tiba-tiba menyuruh orang jualin barang dagangan anda, dong.
Attitude is a little thing that makes a big difference.
Anda setuju?
| Tentang Penulis: Venus adalah seorang blogger dan social media specialist. Ia bisa dihubungi di http://venus-to-mars.com atau melalui akun @venustweets di Twitte |